Menelan Gunung
Seorang kawan lama tiba-tiba datang ke rumah, pada sore yang berhias langit jernih. Mengenakan pakaian kausal dan bercelana pendek, senyumnya masih selebar dulu. Yang berubah, body-nya tak seindah dulu lagi; lemak mengendap di balik lapisan kulit dan perutnya. Saya tidak bisa memastikan sebabnya. Mungkin karena kecintaannya pada kuliner yang memang dahsyat. Tapi barangkali karena kemakmuran...
Setelah larut dalam nostalgia yang bertabur tawa renyah, tiba tiba dia mengeluh, "Sobat, hidupku sudah tidak berguna lagi...”
Saya tertegun. Kalau menyimak caranya berkelakar dan peningkatan signifikan pada taraf kemakmurannya, semua terlihat baik-baik saja. Tapi memang ada satu hal yang selalu ditakutinya. Jawabannya datang tidak lama.
“Aku baru pulang dari Jogja, check up.”
“Lho, bukannya rumah sakit di Jakarta lebih Ok?” ujar saya bingung.
“Bukan check up di rumah sakit, tapi di angkringan,” jawab beliau pendek.
Angkringan, adalah warung makan kelas ekonomi khas Jogjakarta. Bertebaran hampir di seluruh pinggir jalan, ujung gang, dan sudut-sudut gelap seantero kota budaya itu, angkringan menyajikan menu khas: ceker bakar dan nasi kucing. Disebut begitu karena materinya cuma sekepal nasi dengan lauk sambal teri, tumis tempe, atau bakmi goreng yang dibungkus daun pisang. Mirip menu buat si meong.
Lebih eksotis lagi jika sebungkus nasi kucing itu disantap dengan lauk ceker ayam potong yang dibacem. Sebelum menjadi lawan nasi, ceker bacem nan legit itu dibakar dulu di atas tungku arang. Bunyi gemeretak dan aroma lemak hangus yang menguar memang sangat mengundang selera.
Kawan kita ini, dulu sewaktu masih menjadi reporter sebuah digest Islami, adalah pemuja angkringan. “Aku sudah berkeliling Nusantara dan selalu mencicipi makanan terbaik yang ada di setiap kota. Tapi ceker bakar angkringan Jogja tetap yang nomor satu!” Demikian ia memproklamasikan konklusi kulinernya. So? “Aku tidak bisa merasakan kelezatan ceker bakar seperti dulu lagi,” ia bergumam sedih.
Apakah sebenarnya yang kita cari di dunia ini? Sejak lepas subuh hingga jelang maghrib (bahkan lebih banyak lagi yang membutuhkan waktu hingga jauh melewati isya) dalam barisan manakah kita berada? Alih-alih berada di barisan “para pencari Tuhan”, sebagian besar, bahkan hampir semua dari kita bergegap gempita dalam dalam barisan “para pencari dunia”. Saya tidak malu mengakuinya.
Hari demi hari berlalu, dan kesibukan memburu rizki duniawi itu seolah tidak berjeda. Lalu apa yang kita dapat? Mari kita telisik lagi rekam jejak perjalanan hidup kita. Saya memastikan, di masa lalu kita begitu banyak hal-hal sepele yang mampu menghadirkan kebahagiaan tak terkira. Anda yang berasal dari dusun yang murni, masihkah bisa merasakan bahagianya berenang-renang di sungai yang airnya berkilau jernih? Ingatkah kita bahwa belajar naik sepeda dan menerbangkan layang-layang pada masa kecil dulu demikian berharga sehingga kalau mungkin, 24 jam kita habiskan saja untuk kesenangan yang bentuknya sangat sederhana itu. Bahkan, waktu itu saya mau menukar apa saja seluruh isi dunia ini dengan waktu berenang di kali, naik sepeda, dan menerbangkan layangan.
Lalu mari kita uji, apakah hal-hal “sepele” itu masih mampu membuat hati kita bahagia? Apakah perubahan karir, kedudukan, taraf ekonomi, pergaulan, dan semua yang dengan susah payah kita perjuangkan mati-matian ini bisa menghadirkan kebahagiaan serupa?
Sahabat saya yang lain baru pulang dari penjelajahan singkat di Borneo. Dia bercerita dengan sangat geram tentang tentang eksploitasi alam yang “gila-gilaan” dan benar-benar menghancurkan keseimbangan alam. Apa yang diburu mahluk Allah yang cerdas ini dengan menghancurkan mahluk lain yang mestinya dikelolanya dengan bijak sebagai khalifatullah?
Saya jadi teringat seorang preman yang biasa mangkal di kawasan Senen. Di dunianya yang keras, entah berapa kali peristiwa mengerikan menimpanya. Itu bukan omong kosong; dia akan dengan senang hati berkisah tentang sebab pitak-pitak di kepalanya yang permanen: “Dulu, waktu musim petrus (penembak misterius), aku ditangkap sekelompok orang bersenjata. Aku melawan, dan kepalaku dihujani bayonet. Jadinya ya pitak-pitak begini.”
“Abang hebat ya…, belajar kesaktian di mana?”
“Oh, Dik, Abang bukan sakti, Cuma beruntung saja tidak mati-mati. Tak usah belajar macam-macam pun, manusia seperti kita ini memang dibekali kesaktian yang tiada tandingan. Coba Adik pikir, jangankan sepiring nasi, bahkan gunung pun sanggup kita telan bukan?” ujar Sang Preman berfilsafat.
Ucapan dia itu menjustifikasi sabda Rasulullah betapa keserakahan manusia nyaris tidak ada batasnya, “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah yang dipenuhi harta kekayaan, dia pasti menginginkan lembah yang ketiga” (HR Tirmidzi dari Ibnu Abbas).
Mengapa tidak berbatas? Sebab keserakahan itu adiktif. Sedangkan ciri khas kecanduan adalah kebutuhan akan dosis yang lebih besar lagi, lagi, lagi... Kalau kita sudah terbiasa menyantap hutan, gunung, dan meminum samudera raya. Jangan harap bisa terpuaskan oleh sepotong cakar ayam dan segelas teh jahe hangat dalam suasana egaliter.
Makanya, Tuhan kita mewajibkan ummatNya menjalani simulasi perang melawan keserakahan selama satu bulan penuh setiap tahun. Kita diwajibkan merasakan kembali kelaparan sepanjang hari dan betapa nikmat makanan paling sederhana kala berbuka puasa. Kita diingatkan pada kodrat kita dengan timbulnya gejala psikologis saat berpuasa yang saya namakan saja “sindrom menelan gunung”.
Mari kita uji diri kita sendiri (dan tidak usah malu melakukan hal ini, karena hanya Anda dan Tuhan yang tahu). Di tengah sengatan terik mentari, didera lapar dan dahaga di tengah waktu berpuasa, bayangkan jenis dan berapa banyak makanan enak dan minuman menyegarkan yang menurut kata hati Anda sanggup kita telan? Cukupkah segelas teh hangat dan sebutir kurma memuaskan dahaga dan lapar kita?
Kemudian, mari kita buka daftar belanja buka puasa kita, terutama di awal-awal Ramadan. Sebagai appetizer, biasanya ada kolak pisang dan pacar cina (yang ekonominya lebih mapan boleh memilih puding aneka rasa), dan masih banyak ragam penganan lainnya. Menu utamanya jangan sayur lodeh yang sudah biasa dong, karena ini bulan istimewa, aneka masakan istimewa pun tentunya ingin kita hidang. Desert-nya? Aneka buah-buahan nampaknya menjadi pilihan ketimbang sekadar air putih yang sebelum ditelan dipakai kumur-kumur dulu.
Tidak heran kalau disinyalir bahwa memasuki bulan Ramadan ini, kesibukan di pasar lebih hebat ketimbang di masjid.
So, walau belum ada penelitian sahih mengenai ini, tapi barangkali sesaknya meja makan dengan berbagai makanan dan minuman kala buka puasa di awal Ramadan karena ibu atau istri-istri kita juga terserang “sindrom menelan gunung” itu.
Lalu apa yang terjadi begitu adzan maghrib berkumandang? Ternyata, segelas teh hangat (mungkin kolak pisang) dan dua tiga potong kurma lebih dari cukup untuk meringkas luasnya ruang imajiner dalam lambung akibat nafsu serakah kita. Sisa hidangan yang melimpah ruah pun mubadzir.
Kita memang mahluk aneh. Disuruh belajar hidup sederhana, eh.., malah foya-foya. Diminta menikmati rasa lapar dan memperbanyak ibadah, malah balas dendam di meja makan dan lalai beribadah karena kekenyangan. Apa boleh buat, keserakahan memang tidak berbatas.
Tapi, kalau kita tidak mau menderita batin seperti kawan saya yang gelisah karena tidak lagi bisa mensyukuri nikmat Allah paling sederhana, belajarlah mengendalikan hawa nafsu kita. Hati-hati lho.., kalau Anda terbiasa rehat sejenak di café, menikmati sajian espresso sambil ngutak atik PR di laptop, bisa-bisa kopi tubruk buatan istri jadi hambar rasanya.
Kalau Anda terpaksa atau sukarela mengimbangi limpahan rizki dengan gaya hidup yang juga semakin berbiaya tinggi, jangan-jangan Anda sedang mendevaluasi nilai kenikmatan yang diberikan Tuhan. Bukankah udara segar yang semestinya gratis kini harus Anda bayar mahal karena untuk memperolehnya mesti pergi ke Puncak di akhir pekan? Bukankah ongkos ke Dufan untuk memenuhi kebutuhan bermain anak-anak kita sebenarnya bisa kita tekan andai kita bisa mengajari mereka cara membuat dan menerbangkan layangan?
Maka, ketika kawan kita yang gundah gulana karena tidak bisa lagi merasakan nikmatnya ceker bakar di warung angkringan Yogyakarta pamit pulang, saya memberi advis sederhana, “Berpuasalah.” Marhaban yaa Ramadan.
*) M Anwar Sani, Direktur Eksekutif Al Azhar Peduli Ummat
*) Artikel ini dikutip dari www.detik.com
<< Home