Thursday, October 04, 2007

Cuti Bersama vs Perampasan Hak Cuti Tahunan

Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2007, Nomor Kep.326/MEN/X/2007 dan Nomor SKB/10/M.PAN/10/2007 tanggal 1 Oktober 2007 tentang Perubahan Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia Nomor 481 Tahun 2006, Nomor KEP.281/MEN/VII/2006 dan Nomor SKB/03/M.PAN/7/2006 tanggal 24 Juli 2006 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2007, mau nggak mau harus mengubah planning buat mudik yang telah disusun jauh-jauh hari sebelumnya.

Dalam SKB tiga menteri terdahulu disebutkan bahwa cuti bersama untuk dalam rangka idul fitri 1 Syawal 1428 H adalah selama 3 hari (tgl 12, 15 dan 16 Oktober). Sedangkan cuti bersama untuk hari raya Idul Adha dan hari natal adalah selama 2 hari yaitu tanggal 21 dan 24 Desember 2007.

Setelah ada perubahan dengan SKB 3 menteri yang dikeluarkan tanggal 1 Oktober 2007 tersebut, cuti bersama Tahun 2007 sebelum dan sesudah Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1428 H menjadi 6 hari (tgl 12, 15 s.d. 19 Okober 2007), Cuti bersama sesudah Hari Raya Idul Adha dan sebelum hari Natal menjadi 3 hari (tgl 21,24, dan 26 Desember 2007), dan cuti bersama sebelum akhir tahun 2007 selama 1 hari (tgl 31 Desember 2007).

Mungkin, bagi sebagian orang, dengan perubahan SKB tersebut dianggap menguntungkan karena libur manjadi bertambah. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi saya pribadi khususnya. Bagi saya yang setiap lebaran selalu mudik ke kampung halaman, tentu untuk urusan mudik ini harus merencanakan jauh-jauh hari sebelumnya, dalam kaitannya dengan usaha mencari tiket kereta baik PP (untuk pulang maupun tiket perjalanan sekembalinya dari kampung halaman).

Untuk mencari tiket kereta api, khususnya untuk lebaran bukanlah suatu perkara yang mudah. Meskipun tiket sudah bisa dipesan 30 hari sebelum keberangkatan, tetap aja banyak terjadi praktek-praktek curang yang sangat merugikan calon pengguna jasa kereta api. Mulai dari ulah para calo maupun ulah “orang-orang dalam” PT KAI sendiri.

Seperti pengalaman tahun ini, kami merencanakan mudik ke kampung tanggal 10 Oktober 2007. Sesuai aturan pemesanan tiket untuk keberangkatan tgl 10 Oktober 2007, loket dibuka tgl 10 September 2007. Namun untuk mendapatkan tiket nggak segampang apa yang dibayangkan orang. Suami sampe harus ngantri malam hari sebelumnya, nginep, tidur beralaskan koran di stasiun gambir, dalam rangka mendapatkan antrian barisan depan. Untunglah tiket berhasil didapatkan. Ada memang beberapa orang yang gagal mendapatkan tiket, meskpun ia termasuk dalam barisan depan dalam antrian, dan sudah mengantri semalaman, namun tetap saja tiket diumumkan sudah terjual habis, tidak ada kursi yang tersisa walaupun loket baru dibuka beberapa menit saja. Sungguh ironis sekali…..Walaupun ada alterntif lain, tentu alternatif yang dipilih bisa saja memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Untuk balik ke Jakarta, kami merencanakan berangkat tgl 16 Oktober 2007, dengan mengacu pada ketentuan yang mengharuskan bahwa tgl 17 Oktober 2007 sudah harus kembali masuk kantor. Kembali kami harus berjuang untuk mendapatkan tiket balik. Berangkat jam 3 pagi dari rumah menuju stasiun gambir, sampai di stasiun sudah tampak antrian panjang. Beruntung masih mendapat barisan kedua karena ada loket yang baru dibuka pagi harinya (semula hanya 3 loket). Namun apa daya ketika tiba antriannya, tiket yang rencananya akan dibeli (KA Bima) dinyatakan sudah habis terjual. Aneh sekali…..padahal baru detik saja loket dibuka. Hal inilah yang sangat sulit diterima oleh akal. Bagaimana bisa gitu lho……Namun beruntung kami masih bisa mendapatkan alternatif KA lainnya (KA Gajayana) meskipun untuk itu harus merogoh kantong lebih dalam.

Ketika tiket untuk PP mudik sudah ada di genggaman, kami merasa sudah aman, no problem…. Tapi kok tiba-tiba keluar SKB tiga menteri yang merevisi kebijakan sebelumnya tentang cuti bersama. Pada kalang kabutlah semua, karena liburan menjadi diperpanjang. Banyak yang kemudian menjual tiketnya kembali.

Kami sudah merencanakan dari jauh2 hari sebelumnya untuk pulang kampung tgl 10 Oktober dengan pertimbangan bahwa lebaran tahun ini bisa saja berbeda, bisa tanggal 12 atau 13 Oktober. Makanya saya sudah merencanakan sebelumnya, bahwa saya mau nambah cuti 3 hari ( tgl 11-11 dan tgl 16 Oktober) -catat : cuti dengan seijin atasan, bukan mangkir-. Kebetulan sisa cuti tahunan saya untuk tahun ini masih tersisa 5 hari. Dengan adanya cuti bersama sisa jatah cuti saya yang dieman-eman dari dulu langsung habis. Namun apalah daya, rencana tinggal rencana. Jatah cuti saya jadi habis, hak cuti saya dirampas dengan dikeluarkannya SKB tiga menteri tersebut (karena kebijakan bahwa cuti bersama tetap mengurangi hak cuti tahunan pegawai).

Dengan dalih untuk mengurangi banyaknya pegawai (khususnya PNS) yang mangkir setelah lebaran, dibuatlah revisi SKB 3 menteri yang memperpanjang libur lebaran. Para pembuat kebijakan itu mungkin hanya memikirkan pegawai di bawah departemen mereka masing-masing, tanpa melihat pegawai di departemen lainnya. Bagi PNS yang masih suka mangkir kerja karena merasa kurang hari liburnya, juga bagi PNS yang dateng jam 10 pulang jam 12, revisi SKB tersebut mungkin membuat mereka jingkrak-jingkrak kegirangan. Ada juga departemen yang memberlakukan aturan bahwa cuti bersama tersebut tidak mengurangi jatah cuti bersama. Bagaimana bisa…..

Bagi saya, seorang PNS yang bekerja di suatu instansi pemerintah di bawah suatu departemen, yang sudah menerapkan sistem administrasi modern, bekerja di bagian yang mengedepankan pada pelayanan, hal tersebut tentu bertentangan dengan komitmen yang selama ini dipegang. Para pembuat kebijakan itu tidak menganggap bahwa masih banyak PNS yang memiliki integritas yang tinggi. Mereka hanya mengakomodasi para pemalas!

Dengan banyak libur, tentu kegiatan pelayanan akan terganggu. Bagi para pembuat kebijakan itu, dengan banyaknya libur, dianggap akan meningkatkan efektifitas. Bagaimana kegiatan perekonomian bisa efektif, kalau bank-bank, kantor-kantor banyak yang tutup, tidak ada kegiatan apapun di bursa efek, pabrik-pabrik banyak yang tidak beroperasi. Menurut pendapat saya pribadi, libur panjang ini hanya proses pemborosan dan pemiskinan saja. Bagaimana tidak, dengan banyaknya libur, warga masyarakat akan cenderung konsumtif dan menghambur-hamburkan uang. Bagi oarnag yang banyak duit sih nggak masalah ya, tapi bagaimana dengan mereka yang berekonomi pas-pasan?

Belum lagi kebijakan yang dikeluarkan secara mendadak. Tentu akan merubah total rencana perjalanan mudik (bagi yang menggunakan kendaraan umum) yang telah disusun jauh hari sebelumnya. Untuk mendapatkan tiket mudik di hari-hari menjelang lebaran begini, tentu bukanlah perkara yang mudah. Kalaupun dapat, tentu dengan biaya yang sangat mahal.

Saya sangat tidak memahami apa yang ada di otak para pembuat kebijakan itu. Mereka sepertinya hanya mementingkan keuntungan golongan mereka sendiri, tanpa memikirkan bagaimana susah dan ribetnya golongan masyarakat lainnya akibat kebijakan yang telah mereka buat, dengan dalih-dalih yang nggak masuk di akal.

Dalam hal ini, saya memang nggak bisa berbuat banyak ya. Karena saya sendiri hanya bawahan yang menjalankan apa yang diperintahkan atasan. Saya hanya bisa berharap agar para pembuat kebijakan itu memikirkan akibat jangka panjang dari kebijakan yang mereka buat, bukan hanya akibat jangka pendek saja yang dipikirkan. Kalau perlu cabut saja kebijakan tentang cuti bersama ini, karena hanya menimbulkan ketidakadilan, dimana dengan adanya cuti bersama ini saya merasa dirampas hak cuti saya dan saya mau nggak mau dipaksa untuk cuti. Padahal tidak semua orang mempunyai kepentingan cuti yang sama, karena tiap pegawai punya kepentingan masing-masing.

Saya hanya bisa berdoa, “Ya…Alloh, bukakanlah hati para pemimpin kami!...”.

#curahan hati seorang pegawai yang terampas hak cutinya#