Berhari raya bukanlah bagi orang yang berpakaian serbabaru. Namun, berhari raya adalah bagi orang yang taatnya bertambah. Demikian orang bijak pernah berpesan agar kita tidak salah dalam memaknai Idul Fitri yang tampaknya belum seluruhnya dipahami kita, umat Islam di negeri ini.
Lebaran memang tidak perlu berbaju baru, Lebaran memang tidak perlu punya makanan ini dan itu. Namun, tradisi di Tanah Air kita sudah telanjur membudaya bahwa Lebaran harus dihiasi dengan keceriaan, sukacita, dan baju baru apalagi buat anak kecil. Belum lagi hiruk-pikuknya suasana mudik.
Hal tersebut begitu terasa sejak awal Ramadan. Toko-toko busana, mal, dan tempat-tempat perbelanjaan dari yang kelas emperan sampai yang megah dan mewah terlihat penuh dan sesak oleh mereka yang belanja. Tidak ada salahnya sih... semangat menyambut hari kemenanganlah yang membuat kita begitu gembira menyongsong hari raya.
Tidak salah juga bila kita menyenangkan hati anak-anak, tapi semangat itu kalau bisa harus dibarengi dengan semangat berbagi. Bahwa kesukacitaan itu tidak boleh milik kita semata. Bahwa kegembiraan itu tidak boleh hanya kita yang merasakan.
Mari kita buka mata dan hati kita.Ajaklah untuk melihat ke sekeliling kita, ternyata tidak semua orang berlebaran, tidak semua orang bersukacita, tidak semua anak kecil bergembira menyambut hari raya lantaran tidak ada yang bisa dimakan, tidak ada yang bisa dipakai, tidak ada yang bisa dibanggakan di hadapan teman sebaya, semua hari terasa sama bagi mereka, tidak ada yang berbeda.
Karena anak mereka yatim, karena ayahnya sakit keras, sementara ibunya hanya tukang kue keliling, karena penderitaan datang bertubi-tubi seakan tiada henti, karena alam tidak lagi bersahabat hingga menghancurkan harta benda mereka, melenyapkan senyum ceria mereka, menghapus harapan dan impian mereka.
Saat inilah Allah minta kita sudi berbagi, sebelum kehidupan disapa kematian. Sebagai bahan renungan, cobalah kita lihat kisah Rasulullah SAW pada saat Idul Fitri. Saat umat Islam di Madinah merayakan hari berbahagia tersebut dengan mengumandangkan takbir, tahlil, dan tahmid, Rasulullah SAW terlambat datang memimpin salat sunah Idul Fitri.
Para sahabat bertanya-tanya ada apa gerangan yang menunda kedatangan beliau. Rupanya di perjalanan menuju masjid,beliau melihat ada seorang anak kecil yang sedang menangis terisak-isak. Padahal, teman-teman sebayanya bersukaria dengan berbusana serbabaru dan bagus-bagus."
Kenapa kau menangis sendirian wahai anakku, padahal hari ini kan hari bergembira," tanya Nabi SAW kepada bocah malang tersebut. "Bagaimana aku tidak menangis, mereka punya pakaian baru,punya uang jajan banyak,habis makan enak,sedangkan aku...,aku enggakpunya apa-apa,"jawab bocah itu polos tanpa menoleh sedikit pun orang yang menyapanya.
"Memangnya ayah-ibu kamu ke mana?" tanya Nabi ingin tahu penyebab kesedihannya. "Ayahku sudah meninggal, ibuku kawin lagi, dan harta kekayaan peninggalan almarhum ayahku sudah habis oleh ayah tiriku," kata anak itu dengan isak tangisnya yang kian menjadi-jadi.
Mendengar ucapan anak itu,Nabi membelai kepala anak yatim tersebut dengan kasih sayang,menyapanya dengan lembut dan berkata, "Bagaimana seandainya Fatimah Az-Zahra jadi kakakmu,Ali bin Abi Thalib jadi abangmu, dan Hasan-Husein jadi saudaramu, sedangkan aku jadi ayahmu,apakah engkau mau?" Ucapan Rasul tersebut membuat sang bocah yang sedang terisak itu berhenti dari tangisannya.
Dia kaget, jangan-jangan yang sedang mengajaknya berbicara adalah Rasulullah. Dia baru sadar ketika menengok dan ternyata benar saja, manusia mulia yang sedang mengajaknya bicara adalah Rasulullah Muhammad SAW.
"Tentu saja saya mau banget dan senang sekali,ya Rasulullah..."seru anak itu gembira dan seketika isak tangisnya berubah menjadi senyum dan tawa kebahagiaan. Rasulullah langsung membimbing anak tersebut ke rumah beliau, lantas dimandikan, dipakaikan pakaian yang bagus sebagaimana pakaian yang digunakan cucunya,Hasan dan Husein serta diberikan uang jajan secukupnya.
Setelah itu, anak tersebut bergabung dengan teman-teman sebayanya dengan wajah ceria dan senyuman kebahagiaan, sementara Rasulullah meneruskan perjalanan menuju masjid untuk mengimami salat Idul Fitri. Kisah Rasul memang penuh dengan kisah-kisah keteladanan dan kepedulian serta kasih sayang terhadap sesama, begitu juga dengan para sahabat beliau.
Lantas bagaimana dengan kita? Akankah kita membiarkan saudara kita kelaparan saat perut kita kenyang dengan makanan serbaenak dan minuman beraneka warna? Akankah kita membiarkan saudara kita telanjang di pengungsian, di kolong-kolong jembatan dan lain-lain, sementara kita berbangga dengan baju buatan butik dan produk impor?
Akankah kita biarkan mereka menangis saat kita tertawa bahagia? Tuhanlah pemilik semua rezeki, dan Dia sudi berbagi kepada kita. Masa kita tidak mau berbagi, sedangkan sejatinya tidak ada yang kita miliki?
<< Home