Friday, September 26, 2008

Berbahagialah Untuk Hidup Hari Ini

Agama diyakini sebagai obat paling manjur bagi krisis mentalitas dan kepribadian. Orang-orang rela melakukan perjalanan jauh yang melelahkan untuk mengunjungi tempat tersuruk di pegunungan dan pelosok dunia, demi mencari kedamaian, ketenangan, dan pelipur kehausan spiritual.

Namun, kebanyakan dari mereka hanya mendapatkan kelelahan fisik, marabahaya, dan biaya yang tak sedikit. Namun, tak jua menemukan obat penawar kedahagaan spiritual yang dicarinya.
Dan, beruntunglah orang yang mengakui tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya. Allah memberikan kemudahan bagi setiap Muslim untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Karena, Allah memang tidak menghendaki kesukaran bagi hamba-Nya. ''Dan Kami akan memudahkan bagimu ke jalan kemudahan (kebahagiaan dunia dan akhirat).'' (QS. Al-A'la [87]: 8).

Kebahagiaan itu tidak diukur hanya dengan materi. Orang yang susah, mengidentikkan bahagia kalau punya rumah gedung, mobil mewah, makan yang enak-enak, dan gaji jutaan rupiah. Namun, tak sedikit orang yang bergelimangan harta mengeluh kepenatan batin, fisik ambruk sering keluar masuk rumah sakit, dan pikiran selalu didera masalah yang datang bertubi-tubi.
Padahal, Nabi SAW tidak berlebihan mengidentifikasi standar kebahagiaan. ''Jika seseorang dapat tidur nyenyak, sehat badannya, dan ada makanan untuk satu hari, maka dia telah memiliki segalanya.''

Benar adanya apa yang Rasulullah katakan. Terkadang pikiran dan cara pandang kita yang salah telah mengaburkan segalanya. Membuat kita terjebak dalam sikap pragmatis. Seperti tamsil yang mengatakan bahwa langit tampak lebih sejahtera dan mapan, sedangkan bumi miskin dan rendah. Padahal, di bumilah kaki kita berpijak. Di bumilah kehidupan kita berjalan. Syukurilah nikmat yang kita terima hari ini agar kita bisa mencicipi kebahagiaan.

Monday, September 08, 2008

Bekerjalah !!!

Seorang pria bernama Adam hari itu menjumpai kebuntuan. Kebuntuan jalan hidup demi menafkahi anak dan istrinya. Sudah 3 bulan lebih ia hidup tak berpenghasilan. Hampir setiap hari anak-anaknya menangis karena ingin minum susu, sementara istrinya suka menjerit histeris karena kalut dan panik akibat himpitan hidup.

Adam bukanlah orang yang gampang berpangku tangan, ia terus mencoba peruntungan hidup. Namun dunia modern yang selalu menilai manusia dari pengalaman pendidikan membuat dirinya yang hanya lulusan SMU selalu kalah terhempas oleh para pesaing pencari rezeki yang lebih ‘beruntung’ karena berpendidikan setingkat atau dua di atasnya.

Adam tidak mengerti mengapa rezeki diukur dari hal sedemikian. Mengapa ia, istri dan anaknya harus menanggung beban hidup sedemikian. Hanya karena kesialan akademika, maka seluruh rencana hidup manusia sudah ditentukan oleh manusia lainnya.

Pagi itu, Adam mencoba mencari nafkah Tuhan. Ia keluar rumah. Namun ia tak mengerti hendak pergi kemana, entah!! Ia berjalan dengan tatapan mata sayu. Tidak ada lagi sepeser rupiah pun di koceknya. Ia terpaksa keluar rumah. Sebab di rumah, hanya akan membuat kepalanya bertambah pening dan telinganya pekak akibat raungan dan jeritan isrti serta anaknya. Ia keluar rumah hari itu mencoba peruntungan nasib, setelah sebelumnya ia sempatkan berdoa sejenak dalam kedamaian hati kepada Allah Sang Maha Pemberi rezeki agar ia dicukupkan nafkah pada hari ini.

Ia berjalan sambil menunduk. Tak ada daya baginya untuk menegakkan kepala sedikitpun. Dalam benaknya, ia terus berpikir hendak kemana ia pergi mencari nafkah?

Memang Allah Maha Pemurah!!

Setelah berjalan menyusuri bumi yang telah Allah Ta’ala tundukan untuk manusia, maka matanya tertumpu pada sebuah koin kuno yang ia dapati tertanam di tanah dan tidak diindahkan oleh kebanyakan manusia.

Adam memungut koin tua tersebut. Ia dapati dalam koin tersebut angka 1954 yang menunjukkan tahun pembuatannya. Ia berpikir sejenak bahwa umur koin ini lebih tua dari dirinya sendiri yang belum genap 30 tahun.

Seolah mendapat anugerah yang besar, Adam berjalan cepat menuju pasar. Sesampainya di sana, ia masuk ke sebuah bank.

Karena ketidak-tahuannya, Adam berkata kepada salah seorang teller bank, “Mbak, saya mau jual koin kuno ini?” Adam mengeluarkan benda yang dimaksud dari kantong celana sebelah kanan, lalu ia sodorkan kepada teller bank tersebut.

Sang teller merasa aneh, kalau saja ia tidak melihat mimik kesungguhan orang yang mengeluarkan koin tersebut, pasti ia sudah meledakkan tawa seraya mengejek. Dengan lembut sang teller berkata, “Bapak…, di bank ini kami tidak memberikan pelayanan jual-beli mata uang kuno. Bila bapak hendak menjualnya, saya bisa tunjukan kepada bapak sebuah toko kolektor uang kuno yang ada di pasar ini, dan bapak dapat menukarkannya di sana…”

Setelah mendapatkan arah toko tersebut, Adam pun meninggalkan bank untuk pergi ke tempat yang dimaksud.

Allah Sang Maha Pengasih tidak akan pernah menyia-nyiakan usaha yang dilakukan para hamba-Nya!!!

Akhirnya, Adam tiba di toko kolektor uang kuno. Setelah pembicaraan singkat, tanpa diduga sang pemilik toko menaksir uang kuno itu dengan harga Rp 30 ribu. Alangkah senang hati Adam! Ia sempat memuji Allah Swt yang begitu pemurah dan memberikan padanya uang sebanyak itu di saat mendesak seperti ini.

Dengan rahmat-Nya, Allah masih memberikan ilham pada Adam agar uang tersebut tidak habis dikonsumsi.

Sambil berjalan menuju pulang, ia sempat melintasi sebuah pabrik kayu. Terbersit olehnya, untuk membeli potongan-potongan kayu bekas untuk dijadikan lemari buat di rumah. Lalu dengan uang yang ada ia coba berbicara kepada pemilik pabrik kayu itu untuk membeli beberapa potong kayu bekas. Tanpa disangka, Allah Swt masih menunjukan kemurahan-Nya. Dengan uang sejumlah sedemikian, ia dapatkan banyak potongan kayu lagi bagus kualitasnya. Pemilik pabrik berkata, “Ambillah sebanyak bapak suka… toh kayu-kayu yang bapak minta memang biasa kami buang sebagai limbah!”

Terbayang dibenak Adam bahwa ia dapat membuat lemari bagi keluarganya dengan kayu-kayu tadi. Saat berjalan menuju pulang dengan senyum terkulum, Adam melintasi sebuah toko meubel. Tanpa ia tahu, rupanya pemilik toko meubel itu memperhatikan kayu-kayu yang dibawa Adam sejak dari kejauhan.

Begitu melintas di mulut toko, sang pemilik menegur Adam, “Kayu-kayu itu mau dijual, pak...?”

Adam menoleh ke arah sumber suara dan setelah berpikir sejenak ia katakan, “Tidak pak, kayu ini hendak saya jadikan lemari buat di rumah.” “Oh… kalau bapak mau lemari, tukarkan saja kayu-kayu tersebut dengan lemari yang saya jual! Tapi, bapak sendiri mau gak?” Adam mencoba melongok beberapa lemari yang ada dalam toko tersebut. Ia sedikit bergidik sambil bertanya dalam hati, “Mau ditukarkan dengan lemari yang mana?” Dengan menghela nafas agak dalam sedikit, Adam memberanikan diri untuk bertanya, “Memangnya bapak mau bayari berapa kayu-kayu saya ini?” Pemilik toko itu menukas, “Bagaimana kalau dengan seratus ribu, tapi saya bayar dengan lemari yang ada ya pak?” Mendengarnya Adam berdecak kagum. Ia bersyukur dalam hati, begitu pemurahnya Allah Tuhan Sang Maha Pemberi Rezeki. Ia tidak mengira bahwa kayu-kayu yang dibawanya ditaksir dengan harga Rp 100 ribu.

Lalu Adam memilih lemari yang ia suka. Sebuah lemari dua susun setinggi 1 meter! Karena tidak terlalu besar, ia pun membopong lemari tersesbut ke rumah. Ia bawa lemari seharga seratus ribu itu dengan perasaan senang. “Istriku pasti bahagia begitu melihat lemari ini!” gumamnya.

Tiga kelokan lagi Adam akan tiba di rumah, hanya berjarak 2 RT saja dari jalanan yang ia lewati. Saat menyusuri sebuah gang di perumahan padat penduduk, Adam yang sedang menggotong lemari mungilnya itu mendengar sapaan seorang wanita. Seorang ibu rumah tangga yang sedang menyapu teras rumahnya. “Pak, lemari itu mau dijual ya…?!” Glek…!! Adam menelan ludah. Ia berpikir, kejutan apalagi yang mau Allah Ta’ala berikan kepadanya.

Adam berhenti sebentar, menoleh dan memutarkan wajah. Tanpa menurunkan lemari itu Adam balik bertanya, “Emangnya ibu suka dengan lemari ini?” “Iya tuh bang! Lemarinya bagus. Mau dijual berapa?” sang ibu menukas. “Dua ratus ribu mau gak?!” Adam mencoba berspekulasi dengan harga yang ia tawarkan. “Eih… kok bisa ya... ini mah murah... Iya deh saya beli!” Sang ibu kesenangan dengan harga yang ditawarkan Adam. Sementara ia sendiri merasa bingung karena sang ibu mengiyakan harga yang ia berikan tanpa tawar lagi.

“Taruh di sudut situ ya, bang!” sang ibu menyuruh Adam. Usai meletakkan pada posisi yang dimaksud, Adam pun menerima uang yang disodorkan oleh ibu tadi.

Subhanallah, Allah begitu pemurah! Adam tak henti-hentinya mensyukuri peruntungan nasib yang ia alami pada hari ini. Ia mencoba merenungi kejadian satu demi satu. Ia dapati bahwa ia memulai usaha dengan doa tulus dalam hati. Setelah itu, ia berniat mencari nafkah dan bekerja hari ini. Karena niat untuk bekerja menghidupi keluarga, maka Allah tolong dirinya mendapatkan uang kuno. Uang kuno tadi kemudian ia tukar seharga Rp 30 ribu. Uang yang ia dapatkan ia belikan kayu-kayu bekas. Kayu itupun ditaksir dengan lemari senilai Rp 100 ribu dan akhirnya malah lemari itu dibeli seorang ibu dengan harga Rp 200 ribu. Kini Adam membawa pulang Rp 200 ribu untuk keluarganya. Ia pulang dengan hasil jerih payahnya dan nikmat yang luar biasa dari Tuhannya.

Islam, agama yang hanif ini… mengajarkan kepada umatnya untuk tidak berpangku tangan. Bekerja dengan giat, sungguh-sungguh dan pantang menyerah. Bukan karena urusan rezeki umat diperintahkan untuk bekerja, sebab rezeki itu sudah ada ukurannya. Akan tetapi umat Islam diperintahkan untuk bekerja demi izzah (kemulian) diri dan agamanya.

Asalkan bekerja meskipun badan kotor bersimbah lumpur sekalipun. Kulit tangan menjadi kasar dan kaki pecah, asalkan bekerja keras untuk menafkahi keluarga dan ikhlas lillahi ta’ala, maka Allah Swt akan memberikan kecintaan dan pahala yang besar baginya.

Dalam suatu riwayat, Rasulullah Saw pernah mencium tangan Saad bin Muadz begitu melihat tangan Saad yang kasar karena bekerja keras. Beliau bersabda, “Inilah dua tangan yang dicintai Allah Ta’ala!”

Islam amat menghargai seseorang yang bekerja. Bahkan Rasul Saw juga pernah bersabda,

“Demi Allah, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, terkadang ia dapat atau terkadang ia ditolak. (HR. Bukhari & Muslim)

Demikianlah agama ini mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa bekerja keras dan beramal sungguh-sungguh. Sebab karya nyata yang dilakukan oleh seorang muslim dengan sungguh-sungguh akan disaksikan oleh Allah, Rasul & seluruh kaum mukminin. Karenanya Allah Swt berfirman dalam surat At Taubah: 105

"Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan".

Semoga Allah memberkahi usaha yang kita jalankan dan pekerjaan yang kita lakukan di jalan-Nya. Amien. Selamat Bekerja!

Wednesday, September 03, 2008

Menghargai Pemulung

Siapa yang mau menjadi pemulung? Tak banyak yang mengidamkan cita-cita itu. Sebab, sebagian besar beranggapan bekerja sebagai pemulung barang bekas dan sampah bukanlah pilihan, melainkan suatu 'keterpaksaan' hidup. Nasib kurang beruntunglah yang mengantarkan seseorang menjadi pemulung. Bagaimanapun, memulung adalah suatu pekerjaan, dan bekerja adalah ibadah.

Dengan bekerja, seseorang bisa melangsungkan eksistensi kehidupannya dan mencukupi keperluannya. Lebih dari itu, seseorang bisa tenang beribadah kepada Tuhannya manakala kebutuhannya terpenuhi. Suatu hari, saat Rasulullah SAW sedang duduk-duduk bersama para sahabat, lewat seorang lelaki pemulung berpakaian kumal. Mereka bertanya, ''Wahai Rasulullah, apakah yang semacam ini juga termasuk fi sabilillah (di jalan Allah)?''

Nabi pun bersabda, ''Sekiranya dia melakukan hal ini demi menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, maka dia di jalan Allah. Kalaupun dia melakukan hal ini demi menghidupi kedua orang tuanya yang sudah renta, maka dia pun di jalan Allah. Dan, jika dia melakukannya untuk dirinya sendiri demi menjaga kehormatannya agar tidak meminta-minta, maka dia juga di jalan Allah.'' (HR Ath-Thabarani).

Subhanallah! Begitu mengenanya sabda Nabi ini. Betapa banyak di antara kita yang sinis terhadap pemulung. Sampai-sampai di sejumlah kompleks perumahan elite tertulis papan pengumuman gagah: ''Pemulung Dilarang Masuk!'' Padahal, seperti sabda Rasulullah SAW, yang dilakukan pemulung adalah fi sabilillah, baik itu demi menghidupi anak-anaknya, orang tuanya, ataupun untuk dirinya sendiri agar tidak meminta-minta kepada orang lain.

Di sisi lain, sampah bukanlah harta yang bisa dibanggakan. Sampah adalah barang buangan. Bagi tuannya, sampah adalah barang tak berguna. Tiada yang mau menimbun sampah di dalam rumah kecuali orang malas lagi bodoh. Tidakkah kita berterima kasih, jika ada orang yang mau 'menelateni' sampah yang kita buang daripada membusuk di bak sampah? Pemulung sama sekali tidak merugikan masyarakat, bahkan ia justru membantu. Memulung adalah pekerjaan halal. Islam sangat memuliakan orang yang makan dari hasil keringatnya sendiri.

Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang didapat dari hasil kerjanya sendiri.'' (HR Al-Bukhari). Para pemulung, sejatinya, mengajak kita untuk merenung. Wallahu a'lam bish-shawab.

*) Sumber : Republika Online

Monday, September 01, 2008

Menelan Gunung

Seorang kawan lama tiba-tiba datang ke rumah, pada sore yang berhias langit jernih. Mengenakan pakaian kausal dan bercelana pendek, senyum­nya masih selebar dulu. Yang berubah, body-nya tak seindah dulu lagi; lemak mengendap di balik lapisan kulit dan perutnya. Saya tidak bisa memastikan sebabnya. Mungkin karena kecintaannya pada kuliner yang memang dahsyat. Tapi barang­kali karena kemakmuran...

Setelah larut dalam nostalgia yang bertabur tawa renyah, tiba tiba dia mengeluh, "Sobat, hidupku sudah tidak berguna lagi...”
Saya tertegun. Kalau menyimak caranya berkelakar dan peningkatan signifikan pada taraf kemakmurannya, semua terlihat baik-baik saja. Tapi memang ada satu hal yang selalu ditakuti­nya. Jawabannya datang tidak lama.

“Aku baru pulang dari Jogja, check up.”
“Lho, bukannya rumah sakit di Jakarta lebih Ok?” ujar saya bingung.
“Bukan check up di rumah sakit, tapi di angkringan,” jawab beliau pendek.

Angkringan, adalah warung makan kelas ekonomi khas Jogjakarta. Bertebaran hampir di seluruh pinggir jalan, ujung gang, dan sudut-sudut gelap seantero kota budaya itu, angkringan menyajikan menu khas: ceker bakar dan nasi kucing. Disebut begitu karena materinya cuma sekepal nasi dengan lauk sambal teri, tumis tempe, atau bakmi goreng yang dibungkus daun pisang. Mirip menu buat si meong.

Lebih eksotis lagi jika sebungkus nasi kucing itu disantap dengan lauk ceker ayam potong yang dibacem. Sebelum menjadi lawan nasi, ceker bacem nan legit itu dibakar dulu di atas tungku arang. Bunyi gemeretak dan aroma lemak hangus yang menguar memang sangat mengundang selera.
Kawan kita ini, dulu sewaktu masih menjadi reporter sebuah digest Islami, adalah pemuja angkringan. “Aku sudah berkeliling Nusantara dan selalu mencicipi makanan terbaik yang ada di setiap kota. Tapi ceker bakar angkringan Jogja tetap yang nomor satu!” Demikian ia memproklamasikan konklusi kulinernya. So? “Aku tidak bisa merasakan kelezatan ceker bakar seperti dulu lagi,” ia bergumam sedih.

Apakah sebenarnya yang kita cari di dunia ini? Sejak lepas subuh hingga jelang maghrib (bahkan lebih banyak lagi yang membutuhkan waktu hingga jauh melewati isya) dalam barisan manakah kita berada? Alih-alih berada di barisan “para pencari Tuhan”, sebagian besar, bahkan hampir semua dari kita bergegap gempita dalam dalam barisan “para pencari dunia”. Saya tidak malu mengakui­nya.

Hari demi hari berlalu, dan kesibukan memburu rizki duniawi itu seolah tidak berjeda. Lalu apa yang kita dapat? Mari kita telisik lagi rekam jejak perjalanan hidup kita. Saya memastikan, di masa lalu kita begitu banyak hal-hal sepele yang mampu menghadirkan kebahagiaan tak terkira. Anda yang berasal dari dusun yang murni, masihkah bisa merasakan bahagianya berenang-renang di sungai yang airnya berkilau jernih? Ingatkah kita bahwa belajar naik sepeda dan menerbangkan layang-layang pada masa kecil dulu demikian berharga sehingga kalau mungkin, 24 jam kita habiskan saja untuk kesenangan yang bentuknya sangat sederhana itu. Bahkan, waktu itu saya mau menukar apa saja seluruh isi dunia ini dengan waktu berenang di kali, naik sepeda, dan menerbangkan layangan.

Lalu mari kita uji, apakah hal-hal “sepele” itu masih mampu membuat hati kita bahagia? Apakah perubahan karir, kedudukan, taraf ekonomi, pergaulan, dan semua yang dengan susah payah kita perjuangkan mati-matian ini bisa menghadirkan kebahagiaan serupa?

Sahabat saya yang lain baru pulang dari penjelajahan singkat di Borneo. Dia bercerita dengan sangat geram tentang tentang eksploitasi alam yang “gila-gilaan” dan benar-benar menghancurkan keseimbangan alam. Apa yang diburu mahluk Allah yang cerdas ini dengan menghancurkan mahluk lain yang mestinya dikelolanya dengan bijak sebagai khalifatullah?

Saya jadi teringat seorang preman yang biasa mangkal di kawasan Senen. Di dunianya yang keras, entah berapa kali peristiwa mengerikan menimpanya. Itu bukan omong kosong; dia akan dengan senang hati berkisah tentang sebab pitak-pitak di kepalanya yang permanen: “Dulu, waktu musim petrus (penembak misterius), aku ditangkap sekelompok orang bersenjata. Aku melawan, dan kepalaku dihujani bayonet. Jadinya ya pitak-pitak begini.”

“Abang hebat ya…, belajar kesaktian di mana?”
“Oh, Dik, Abang bukan sakti, Cuma beruntung saja tidak mati-mati. Tak usah belajar macam-macam pun, manusia seperti kita ini memang dibekali kesaktian yang tiada tandingan. Coba Adik pikir, jangankan sepiring nasi, bahkan gunung pun sanggup kita telan bukan?” ujar Sang Preman berfilsafat.
Ucapan dia itu menjustifikasi sabda Rasulullah betapa keserakahan manusia nyaris tidak ada batasnya, “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah yang dipenuhi harta kekayaan, dia pasti menginginkan lembah yang ketiga” (HR Tirmidzi dari Ibnu Abbas).

Mengapa tidak berbatas? Sebab keserakahan itu adiktif. Sedangkan ciri khas kecanduan adalah kebutuhan akan dosis yang lebih besar lagi, lagi, lagi... Kalau kita sudah terbiasa menyantap hutan, gunung, dan meminum samudera raya. Jangan harap bisa terpuaskan oleh sepotong cakar ayam dan segelas teh jahe hangat dalam suasana egaliter.

Makanya, Tuhan kita mewajibkan ummatNya menjalani simulasi perang melawan keserakahan selama satu bulan penuh setiap tahun. Kita diwajibkan merasakan kembali kelaparan sepanjang hari dan betapa nikmat makanan paling sederhana kala berbuka puasa. Kita diingatkan pada kodrat kita dengan timbulnya gejala psikologis saat berpuasa yang saya namakan saja “sindrom menelan gunung”.

Mari kita uji diri kita sendiri (dan tidak usah malu melakukan hal ini, karena hanya Anda dan Tuhan yang tahu). Di tengah sengatan terik mentari, didera lapar dan dahaga di tengah waktu berpuasa, bayangkan jenis dan berapa banyak makanan enak dan minuman menyegarkan yang menurut kata hati Anda sanggup kita telan? Cukupkah segelas teh hangat dan sebutir kurma memuaskan dahaga dan lapar kita?

Kemudian, mari kita buka daftar belanja buka puasa kita, terutama di awal-awal Ramadan. Sebagai appetizer, biasanya ada kolak pisang dan pacar cina (yang ekonominya lebih mapan boleh memilih puding aneka rasa), dan masih banyak ragam penganan lainnya. Menu utamanya jangan sayur lodeh yang sudah biasa dong, karena ini bulan istimewa, aneka masakan istimewa pun tentunya ingin kita hidang. Desert-nya? Aneka buah-buahan nampaknya menjadi pilihan ketimbang sekadar air putih yang sebelum ditelan dipakai kumur-kumur dulu.

Tidak heran kalau disinyalir bahwa memasuki bulan Ramadan ini, kesibukan di pasar lebih hebat ketimbang di masjid.
So, walau belum ada penelitian sahih mengenai ini, tapi barangkali sesaknya meja makan dengan berbagai makanan dan minuman kala buka puasa di awal Ramadan karena ibu atau istri-istri kita juga terserang “sindrom menelan gunung” itu.

Lalu apa yang terjadi begitu adzan maghrib berkumandang? Ternyata, segelas teh hangat (mungkin kolak pisang) dan dua tiga potong kurma lebih dari cukup untuk meringkas luasnya ruang imajiner dalam lambung akibat nafsu serakah kita. Sisa hidangan yang melimpah ruah pun mubadzir.
Kita memang mahluk aneh. Disuruh belajar hidup sederhana, eh.., malah foya-foya. Diminta menikmati rasa lapar dan memperbanyak ibadah, malah balas dendam di meja makan dan lalai beribadah karena kekenyangan. Apa boleh buat, keserakahan memang tidak berbatas.

Tapi, kalau kita tidak mau menderita batin seperti kawan saya yang gelisah karena tidak lagi bisa mensyukuri nikmat Allah paling sederhana, belajarlah mengendalikan hawa nafsu kita. Hati-hati lho.., kalau Anda terbiasa rehat sejenak di café, menikmati sajian espresso sambil ngutak atik PR di laptop, bisa-bisa kopi tubruk buatan istri jadi hambar rasanya.

Kalau Anda terpaksa atau sukarela mengimbangi limpahan rizki dengan gaya hidup yang juga semakin berbiaya tinggi, jangan-jangan Anda sedang mendevaluasi nilai kenikmatan yang diberikan Tuhan. Bukankah udara segar yang semestinya gratis kini harus Anda bayar mahal karena untuk memperolehnya mesti pergi ke Puncak di akhir pekan? Bukankah ongkos ke Dufan untuk memenuhi kebutuhan bermain anak-anak kita sebenarnya bisa kita tekan andai kita bisa mengajari mereka cara membuat dan menerbangkan layangan?

Maka, ketika kawan kita yang gundah gulana karena tidak bisa lagi merasakan nikmatnya ceker bakar di warung angkringan Yogyakarta pamit pulang, saya memberi advis sederhana, “Berpuasa­lah.” Marhaban yaa Ramadan.

*) M Anwar Sani, Direktur Eksekutif Al Azhar Peduli Ummat
*) Artikel ini dikutip dari www.detik.com